Pengertian iman dari bahasa Arab yang artinya “Percaya”. Sedangkan menurut istilah, pengertian iman adalah “membenarkan dengan hati, diucapkan dengan lisan, dan diamalkan dengan tindakan (perbuatan)”.
“Wahai orang-orang yang beriman. Tetaplah beriman kepada Allah dan RasulNya dan kepada Kitab yang diturunkan kepada RasulNya, serta kitab yang diturunkan sebelumnya. Barangsiapa ingkar kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, Kitab-kitab-Nya, Rasul-rasulNya, dan hari kemudian, maka sungguh orang itu telah tersesat sangat jauh.” (Q.S. An Nisa : 136)
Hal tersebut juga dijelaskan dalam hadits riwayat Muslim tentang iman dan rukunnya. Dari Abdullah bin Umar, ketika diminta untuk menjelaskan iman, Rasulullah bersabda, “iman itu engkau beriman kepada Allah, malaikat-malaikatNya, kitab-kitabNya, Rasul-rasulNya dan hari akhir serta beriman kepada ketentuan (takdir) yang baik maupun yang buruk.”
Istilah Ma'rifat berasal dari kata "Al-Ma'rifah" yang berarti “Mengetahui atau Mengenal Sesuatu.”
A. Dr. Mustafa Zahri mengemukakan salah satu pendapat Ulama Tasawuf yang mengatakan:
"Marifat adalah ketetapan hati (dalam mempercayai hadirnya) wujud yang wajib adanya (Allah) yang menggambarkan segala kesempurnaannya."
B. Asy-Syekh Ihsan Muhammad Dahlan Al-Kadiriy mengemukakan pendapat Abuth Thayyib As-Saamiriy yang mengatakan:
"Ma'rifat adalah hadirnya kebenaran Allah (pada Shufi)...dalam keadaan hatinya selalu berhubungan dengan Nur Ilahi..."
C. Imam Al-Qusyairy mengemukakan pendapat Abdur Rahman bin Muhammad bin Abdillah yang mengatakan:
"Ma'rifat membuat ketenangan dalam hati, sebagaimana ilmu pengetahuan membuat ketenangan (dalam akal pikiran). Barangsiapa yang meningkat ma'rifatnya, maka meningkat pula ketenangan (hatinya)."
D. Makrifat, menurut al-Gazali, ialah pengetahuan yang meyakinkan, yang hakiki, yang dibangun di atas dasar keyakinan yang sempurna (haqq al-yaqin). Ia tidak didapat lewat pengalaman inderawi, juga tidak lewat penalaran rasional, tetapi semata lewat kemurnian qalbu yang mendapat ilham atau limpahan nur dari Tuhan sebagai pengalaman kasyfiy atau ‘irfaniy. Teori pengetahuan ala sufi ini dipandang telah ikut melemahkan semangat seseorang untuk aktif dalam kehidupan nyata secara seimbang antara tuntutan pribadi dan sosial, antara jasmani dan ruhani.
Makrifat merupakan ilmu yang tidak menerima keraguan
yaitu ”pengetahuan” yang mantap dan mapan, yang tak tergoyahkan oleh siapapun dan apapun, karena ia adalah pengetahuan yang telah mencapai tingkat haqq al-yaqin. Inilah ilmu yang meyakinkan, yang diungkapkan oleh al-Gazali dengan rumusan sebagai berikut:
“Sesungguhnya ilmu yang meyakinkan itu ialah ilmu di mana yang menjadi obyek pengetahuan itu terbuka dengan jelas sehingga tidak ada sedikit pun keraguan terhadapnya; dan juga tidak mungkin salah satu keliru, serta tidak ada ruang di qalbu untuk itu”.
Secara definitif, makrifat menurut al-Gazali ialah:
“Terbukanya rahasia-rahasia Ketuhanan dan tersingkapnya hukum-hukum Tuhan yang meliputi segala yang ada”.
Karena itu, dapat dikatakan, bahwa obyek makrifat dalam pandangan al-Gazali mencakup pengenalan terhadap hakikat dari segala realitas yang ada. Meskipun demikian, pada kenyataannya, al-Gazali lebih banyak membahas atau mengajarkan tentang cara seseorang memperoleh pengetahuan tentang Tuhan, yang memang tujuan utama dari setiap ajaran sufi. Dengan demikian, al-Gazali mendefinisikan makrifat dengan.
Makrifat dalam arti yang sesungguhnya, menurut al-Gazali, tidak dapat dicapai lewat indera atau akal, melainkan lewat n¬ur yang diilhamkan Allah ke dalam qalbu. Melalui pengalaman sufistik seperti inilah, didapat pengetahuan dalam bentuk kasyf. Dengan kata lain, makrifat bukanlah pengetahuan yang dihasilkan lewat membaca, meneliti, atau merenung, tetapi ia adalah apa yang disampaikan Tuhan kepada seseorang dalam pengalaman spiritual langsung.
“Allah (Pemberi) cahaya (kepada) langit dan bumi. Perumpamaan cahaya-Nya adalah seperti sebuah lubang yang tak tembus, yang di dalamnya ada pelita besar. Pelita itu di dalam kaca (dan) kaca itu seakan-akan bintang (yang bercahaya) seperti mutiara, yang dinyalakan dengan minyak dari pohon yang banyak berkahnya, (yaitu) pohon zaitun yang tumbuh tidak di sebelah timur (sesuatu) dan tidak pula di sebelah barat(nya), yang minyaknya (saja) hampir-hampir menerangi, walaupun tidak disentuh api. Cahaya di atas cahaya (berlapis-lapis), Allah membimbing kepada cahaya-Nya siapa yang Dia kehendaki, dan Allah memperbuat per¬umpamaan-perumpamaan bagi manusia, dan Allah Mahamengetahui segala sesuatu. (QS. An-Nuur 24:35)
sebagaimana dicontohkan oleh al-Ghazali, misalnya Ali bin Abi Thalib, Ja'far Shadiq, diceritakan :
Ketika Ali ditanya oleh seseorang, "Wahai Amir al-Mu'minin, apakah engkau menyembah seseuatu yang engkau lihat atau sesuatu yang tidak engkau lihat?", Ali menjawab, "Tidak, bahkan aku menyembah dzat yang aku lihat tidak dengan mata kepalaku, tetapi dengan mata hatiku".
Demikian juga ketika Ja'far al-Shadiq R.A. ditanya "Apakah engkau melihat Allah?", ia menjawab, "Apakah aku menyembah tuhan yang tidak bisa aku lihat". Lalu ia ditanya lagi, "Bagaimana engkau dapat melihatnya pada-hal Ia (Tuhan) adalah sesuatu yang tidak terjangkau oleh peng-lihatan". Ja'far Shadiq menegaskan: "Mata tidak bisa melihat Tuhan dengan penglihatannya, tetapi hati bisa melihat-Nya dengan hakikat iman. Ia tidak mungkin dapat diindera oleh pan-caindera dan dipersamakan dengan manusia.”
Tingkatan ma'rifat, menurut al-Ghazali berjenjang sesuai dengan tingkatan iman seseorang. Karena itu, tingkatan ma'rifat dibagi menjadi tiga sesuai dengan tingkatan iman seseorang. Tiga tingkatan tersebut yaitu :
- Tingkatan pertama; imannya orang awam. Iman dalam tingkatan ini adalah iman taqlid yang murni.
- Tingkatan kedua; Imannya para ahli kalam. Mereka adalah orang-orang yang mengaku ahli akal dan berpikir atau mengaku sebagai tokoh penelitian dan istidlal.
- Tingkatan ketiga; Imannya para 'arifin yaitu orang-orang yang menyaksikan dengan 'ainul yaqin.
Dari keterangan di atas, kita bisa tahu perbedaan antara Iman dan Ma’rifat, dengan demikian kita diwajibkan percaya dan mengetahui adanya Allah Ta’ala (Ma’rifat kepada Allah Ta’ala). Karena tatkala iman kita tidak beserta Shidiq-Nya, maka iman kita adalah dikategorikan iman Taqlid (ikut-ikutan), percaya kepada Allah Ta’ala hanya sekedar dari katanya, atau dari keterangan kitab saja.
Iman kepada Allah hanya sekedar percaya, karena adanya ciptaan-Nya, seperti langit, bumi dan sebagainya adalah hal yang biasa diucapkan oleh sipapun, bukan hanya kita sebagai umat Islam, mereka yang tidak menganut ajaran agama islam pun percaya kalau Bumi, langit, dan isinya adalah Ciptaan Tuhan Yang Maha Esa. Kalau demikian apakah bedanya antara kita umat islam dan mereka selain islam????, ataukah karena adanya rukun – rukun dalam islam, bukankah dalam agama lain pun ada, mungkin dalam kontek bahasanya saja yang berbeda.
“Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagimu. Maka barang siapa terpaksa karena kelaparan tanpa sengaja berbuat dosa, sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”. (QS: Al-Maidah Ayat:3)
“Sesungguhnya Agama di sisi Allah ialah Islam. Dan orang-orang yang diberikan Kitab itu tidak berselisih melainkan setelah sampai kepada mereka pengetahuan yang sah tentang kebenarannya semata-mata kerana hasad dengki yang ada dalam kalangan mereka. Dan , sesiapa yang kufur ingkar akan ayat-ayat keterangan Allah, maka sesungguhnya Allah Amat segera hitungan hisabNya.” (QS Ali-Imran 3:19).
Sedemikian mulianya Islam, namun apakah yang membedakan islam dari agama lainya??? Dikarenakan didalam Islam ada Hak Untuk Ma’rifat kepada Allah Ta’ala, dan sebagai bukti Rosullallah sendiri di Mi’rajkan untuk bermuajahah (bertemu) dengan sang Kholiq, dan diperintahkannya Sholat lima waktu sebagai jalan umatnya dapat bermuajahah (bertemu) dengan Allah Ta’ala, atau sebagai pengingat sebagaimana ia pernah bermuajahah selagi ia berada didalam alam Arwah.
“Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman): "Bukankah Aku ini Tuhanmu?" Mereka menjawab: "Betul (Engkau Tuban kami), kami menjadi saksi". (Kami lakukan yang demikian itu) agar di hari kiamat kamu tidak mengata-kan: "Sesungguhnya kami (bani Adam) adalah orang-orang yang lengah terhadap ini (keesaan Tuhan)", (QS Al-A’raf 7: 172).
Islam adalah agama yang dibawa Rosulullah, sebagai penyempurna dari agama agama tauhid sebelumnya, dimana ianya membimbing umatnya untuk bisa Ma’rifat kepada Allah dan Rosulullah.
Untuk itulah wajib untuk kita menjadi Islam secara keseluruhan, baik lahiriyah maupun bathiniahnya, sehingga kita bisa diakui menjadi ummat Rosulullah SAW. Karena Hanya Ummat yang diakui Rosulullah SAW, saja mereka mamapu untuk bisa bertemu dengan Rasulullah, baik secara hakiki ataupun majazinya.
Bukankah dalam Rukun Syahadat juga di jelaskan :
Adapun rukun Syahadat itu ada 4 perkara :
1. Meng- ITSBAT-kan (Menetapkan) Dzat ALLAH
2. Meng- ITSBAT-kan (Menetapkan) Sifat ALLAH
3. Meng- ITSBAT-kan (Menetapkan) Af'al ALLAH
4. Meng- ITSBAT-kan (Menetapkan) Shidiq Rasulullah
Demikian adalah Rukun Membaca Syahadat, kita diwajibkan untuk Shidiq terhadap Rosulullah , Bagaimana kita bisa menetapkan adanya Allah Ta’ala dan Rosulullah, kalau kita sendiri belum mampu Ma’rifat kepada-Nya, kepada sifat-sifat-Nya.
Di katakana bisa menetapkan sesuatu adalah jikalau kita sudah tau apa yang akan kita tetapkan, tahu adalah menyaksikan dan mengalaminya sendiri, bukan sekedar mengucapkanya dengan mulut kita saja, atau yakin kah kita dengan apa yang kita tidak tahu..???, sebab kalau hanya mengucap,dan katanya yakin anak seusia dini pun pasti bisa. Maka daripada itu pengertian syahadat adalah tahu dan mengalaminya sendiri.
Umpama kita menonton film, tapi kita tidak menyaksikannya sendiri, kita hanya duduk,tapi asik dengan diri kita sendiri, apakah dikatakan kita menyaksikan film tersebut..??? dan akankah kita bisa menikmati isi cerita dari film tersebut..??? tentu jawabanya adalah tidak..!!!
Demikian juga dalam Bab Agama, disarankan bagi yang membaca buku ini, jangan dulu mengatakan tidak percaya, dan macam-macam. Karena dizaman sekarang ini, pikiran orang sudah lebih rasional,dan tidak mau untuk dibodohi lagi, ingat kata ucapan Orang-orang tua dulu : “BATU TURUN, KEUSIK NAEK”(Batu Turun, Pasir Naik) dan itu tidak ada yang Mustahil Bagi Allah Ta’ala, Yang Tua Jadi Bodoh, dan Yang Muda akan lebih Pandai..
“Dan sembahlah Tuhanmu sampai datang kepadamu “keyakinan” (QS: Al-Hijr Ayat: 99)
Sebagaimana Perjalan Nabi Muhammad Saw yang dimulai dari ma’rifat, tarekat, hakikat dan akhirnya sampai pada syariat. Maka Ilmu untuk mengenal Allah sendiri terbagi dua,ada yang dari atas ke bawah, seperti Rosulullah, Para Wali, Para Sufi, dan sebagainya, dan ada yang memulainya dari bawah, seperti kita kebanyakan. (diterangkan di bab-bab awal). Maka Perjalanan tersebut terbagi menjadi 4 (empat) bagian :
- Ilmu Syari’at
- Ilmu Tarekat
- Ilmu Hakikat
- Ilmu Ma’rifat
Dan di zaman sekarang seorang muslim terkadang telah dipusingkan atau dikotak-kotak dalam perbedaan antara Syari'at, Tarekat, Hakikat dan Makrifat. Sebenarnya apa itu semua, apakah itu sebuah kajian akademik ataukah sebuah dogma. Untuk demikian mari kita mengenal ke 4 (empat) nya secara singkat :
- Syari’at
Adalah hukum dan aturan Islam yang mengatur seluruh sendi kehidupan umat Muslim. Selain berisi hukum dan aturan, syariat Islam juga berisi penyelesaian masalah seluruh kehidupan ini. Maka oleh sebagian penganut Islam, syariat Islam merupakan panduan menyeluruh dan sempurna seluruh permasalahan hidup manusia dan kehidupan dunia ini. Sumber syariat adalah Al-Qur'an, As-Sunnah.
- Tarekat
Bahasa Arab: طرق, transliterasi: Tariqah, berarti "jalan" atau "metode", dan mengacu pada aliran kegamaan tasawuf atau sufisme/ mistisme Islam. Di zaman sekarang ini, tarekat merupakan jalan (pengajian) yang mengajak ke jalan Ilahiyah dengan cara suluk (taqarrub) yang biasanya dilakukan oleh salik.
- Hakikat (Haqiqat)
Adalah kata benda yang berarti kebenaran atau yang benar-¬benar ada. Yang berasal dari kata hak (al-Haq), yang berarti milik (ke¬punyaan) atau benar (kebenaran). kata Haq, secara khusus oleh orang-orang sufi sering digunakan sebagai istilah untuk Allah, sebagai pokok (sumber) dari segala kebenaran, sedangkan yang berlawanan dengan itu semuanya disebut batil (yang tidak benar).
- Makrifat
berarti pengetahuan yang hakiki tentang Ilahiyah. Dengan orang menjalankan Syari'at, masuk Tarekat, kemudian ber-Hakikat untuk mendapatkan Makrifatullah sehingga menjadi hamba yang selalu mendekatkan diri setiap detik hanya ke Allah.
Makrifat adalah bertemu dan mencairnya kebenaran yang hakiki: yang disimbolkan saat Muhammad saw bertemu jibril, hakikat saat dia mencoba untuk merenungkan berbagai perintah untuk iqra, tarekat saat muhammad saw berjuang untuk menegakkan jalannya dan syariat adalah saat muhammad saw mendapat perintah untuk sholat saat isra mikraj yang merupakan puncak pendakian tertinggi yang harus dilaksanakan oleh umat muslim. (Sudah dijelaskan secara rinci di Bab Sebelumnya).