Al-Qur’ān (ejaan KBBI: Alquran, Arab: القرآن) adalah kitab suci agama Islam. Ditinjau dari segi kebahasaan, Al-Qur’an berasal dari bahasa Arab yang berarti "bacaan" atau "sesuatu yang dibaca berulang-ulang". Kata Al-Qur’an adalah bentuk kata benda (masdar) dari kata kerja qara'a yang artinya membaca. Konsep pemakaian kata ini dapat juga dijumpai pada salah satu surat Al-Qur'an sendiri yakni pada ayat 17 dan 18 Surah Al-Qiyamah yang artinya:
“Sesungguhnya mengumpulkan Al-Qur’an (di dalam dadamu) dan (menetapkan) bacaannya (pada lidahmu) itu adalah tanggungan Kami. (Karena itu,) jika Kami telah membacakannya, hendaklah kamu ikuti {amalkan} bacaannya”.(QS Al Qiyamah 75:17-18)
Al-Qur’an itu terbagi dalam empat perkara :
- Al Qur’anul Majid
- Al Qur’anul Karim
- Al Qur’anul Hakim
- Al Qur’anul Adzim
Dan Al Qur’an yang empat perkara diatas, dijabarkan sebagai berikut :
- Al-Qur’anul MAJID ialah Al-Qur’an yang ada HURUF-nya, yaitu berupa KITAB yang kita baca dan dikaji di tempat-tempat pengajian inilah manual (gambaran) dari Al-Qur’an yang HIDUP.
- Al-Qur’anul KARIM ialah Al-Qur’an yang MULIA, yaitu yang telah membuat hingga Al-Qur’an itu bisa ditulis kedalam sebuah kitab, siapa yang membuat hingga Al-Qur’an bisa dibaca? tentunya itu hasil karya dari tulisan tangan dan jari-jarinya, jadi yang MULIA itu adalah tangan dan jari-jarinya.
- Al-Qur’anul HAKIM ialah Al-Qur’an yang AGUNG. yaitu MATA, karena PENGLIHATANnya maka tangan dan jari-jarinya dapat menulis. Jadi yang AGUNG itu MATA dan PENGLIHATANnya.
- Al-Qur’anul ADHIM ialah Al-Qur’an yang SUCI dan ABADI. Itulah yang HIDUP, karena walau ada tangan dan jarinya serta mata dan penglihatan tetap tidak akan terwujud Al-Qur’an kalau tidak ada yang HIDUP.
Rasulullah Saw adalah perwujudan riil “Al Qur’an yang berjalan”. Diriwayatkan oleh Muslim, bahwa ketika Aisyah ditanya tentang akhlak Rasulullah maka beliau menjawab, “Akhlak Rasulullah adalah al Qur’an.” Untuk itulah, Rasulullah diperintahkan untuk membentuk al Qur’an, al Qur’an berjalan atau manusia-manusia rabbani, yaitu manusia-manusia yang memiliki akhlak mulia berdasarkan nilai-nilai rabbaniyyah (Ketuhan-an).
Jabir bin Abdullah berkata, Rasulullah Saw berkata: “Sesungguhnya Allah mengutusku dengan tugas membina kesempurnaan akhlak dan kebaikan pekerjaan.” (HR. Al Thabrani. al Mu’jam al Awsath, Juz 7, 74, dalam al Maktabah al Syamilah).
Lebih Jelasnya …. Al-Qur’an = Hidup Rasullullah adalah Al-Qur’an yang berjalan (Hidup) Jadi Al-Qur’an yang hidup adalah INSAN. oleh karena itu.. Jika ingin mengaji Al-Qur’an harus sampai kepada SUCI-nya, maka itulah yang SEMPURNA (Melalui 4 tahapan pengkajian Al-Qur’an diatas).
Pertama, harus ada kemauan yang kuat untuk membaca Al-Qur’anul Majid (Al-Qur’an yang ada hurufnya) inilah SYARIATnya.., setelah dibaca harus dikaji yaitu diartikan apa maksudnya.., setelah mengerti maksud-maksudnya segera cari tahu dan amalkan agar terasa manfaatnya (Tangan yang bergerak) inilah THAREKATnya…
Maksudnya.. Semua berawal dari Al-Qur’anul Majid (Manual Book) yang telah menunjuki jalan mengenal Allah dan Rasul-Nya kemudian dilanjutkan dengan “membaca” Al-Qur’anul Karim artinya mengkaji pekerjaan tangan dan jari kita yang sekiranya bisa menghantarkan kepada Allah dan Rasul-Nya.
Bahwa… Allah memberi tangan dan jari kepada manusia, bukan hanya digunakan untuk membuat dan mengerjakan barang-barang yang berhubungan dengan sifat ke-dunia-an saja tetapi haruslah dipakai dengan membuat jalan untuk mengenal Allah dan Rasul-Nya agar tangan kita menjadi MULIA.
“Atau seperti orang-orang yang ditimpa hujan lebat dari langit di sertai gelap gulita, guruh dan kilat. Mereka menyumbat telinga dengan jari tangan mereka ketika mendengar petir karena takut mati. Dan Allah meliputi orang-orang kafir.”(QS. Al Baqoroh 2: 19).
Pada ayat sebelumnya, Allah menyerupakan orang-orang kafir dengan orang yang berada di sebuah tempat gelap dan kehilangan cahaya penerang, lalu mengalami kebingungan dan tak mempunyai jalan untuk kembali. Sedangkan ayat ini berkata, orang kafir bagaikan orang yang berada di lumpur akibat hujan lebat, di tengah gelap gulita malam yang disertai dengan kilat yang menyambar-nyambar dan guntur yang menggelegar, membuatnya ketakutan setengah mati. Namun ia tidak memiliki tempat berlindung untuk menyelamatkan diri dari hujan, tidak pula memiliki cahaya untuk menghadapi kegelapan, tidak juga ia memiliki jiwa dan mental yang kuat untuk menghadapi petir yang mengguntur memekakkan gendang telinga.
Orang-orang yang dibutakan mata hatinya, mereka tidak akan mampu untuk menggunakan tangan dan jemarinya untuk mengenali jalan kematian,ianya hanya mampu menutupinya dan pura – pura tidak tahu atau bahkan melupakan. itu sama halnya martabatnya dengan hayawan.
Selanjutnya… Dari Al-Qur’anul Karim naik lagi setingkat kepada Al-Qur’anul Hakim bagian HAKEKAT. Yaitu harus mengkaji pekerjaan PENGLIHATAN kita yang sekiranya belum HAKIM.. “Sidik jari” atau bukti pada barang yang SUCI dan ABADI itu Hakekatnya adalah ALLAH dan MUHAMMAD. Karena ALLAH dan MUHAMMAD yang memberikan MATA dan PENGLIHATAN itu, Penglihatan juga bukan untuk dipakai melihat barang yang hanya berhubungan dengan keduniaan saja, tetapi harus juga dipakai untuk melihat dengan mata batin HAKEKAT ALLAH dan RASULULLAH, atau yang disebut dengan JOHAR AWWAL.
Inilah Al-Qur’an yang dimaksud dengan sebenar-benarnya Al-Qur’an yaitu Al-Qur’anul ADHIM yang SUCI lagi ABADI, yang sifatnya HIDUP, yang telah ditanamkan pada dada setiap INSAN dan menjadi IMAM dan juga sebagai IMAN untuk memisah yang Hak dan yang Bathil yang bertaraf MAKRIFAT.
Namun hati-hati jangan sampai keliru, menetapkan Johar Awal itu kepada terangnya sinar matahari yang dapat dilihat oleh mata kepala, Matahari adalah Johar Pirid namanya, bagian Swarga Loka. Johar Awal yang sejati, yaitu yang disebut pula dengan Johar Latif tegasnya Go’ib, tidak bisa terlihat oleh mata kepala.
Imam Qurthuby berkata : “Melihat Allah SWT di dunia, adalah dengan mata hati.” dapat diterima akal. Kalau sekiranya tidak bisa, tentulah permintaan Nabi Musa a.s. untuk bisa melihat Tuhan adalah hal yang mustahil. Tidak mungkin seorang Nabi tidak mengerti apa yang boleh dan dan apa yang tidak boleh bagi Allah. Bahkan (seandainya) Nabi Musa tidak meminta, hal ini bisa terjadi dan bukan mustahil”.(Al-Jami’ul Ahkamul-Qur’an).”
Karena yang namanya orang tidak akan ada yang bisa Ma’rifat kesana, ianya hanya sekedar dipakai tempat untuk melihat kepada Rosululloh dan Allah Ta’ala. Setiap-tiap wujud kita sudah bisa dipakai sebagai tempat untuk melihat kepada Rosululloh dan Allah Ta’ala. Tentu tangan dan jari jemari kita akan bisa menceritakan bahwasanya sudah mengaku mengetahui kepada Allah Ta’ala, disebabkan sudah diberitahu oleh Rosululloh. Jadi kita ini hanya terbawa tahu, terbawa nikmat oleh Rosululloh di dunia sampai ke akherat, tidak akan salah lagi karena sudah tetap menjadi umatnya, sebab dari sekarang sudah merasa tidak berpisahnya dengan Rosululloh, dikarenakan siang malam wujud kita tetap dipakai oleh Rosululloh, untuk melihat kepada Allah Ta’ala. Tiap-tiap sudah merasa bersama-sama dengan yang Maha Suci, baik siang maupun malam Insya Allah tekad dan perbuatan kita lama-kelamaan akan terasa suci dan sudah tentu setan-setan tidak akan mau mendekati.
Namun begitu juga Ma’rifat harus dibarengi dengan Tauhidnya, kalau tidak dengan Tauhidnya tentu akan salah juga, walaupun sudah mempunyai Tarekatnya, karena tidak merasa takut, tidak merasa malu, tekad dan perbuatannya tetap semena-mena, dan hal inilah yang disebut dengan Ma’rifat Nikung ( menyeleweng ), tentu di dunia tidak akan mendapat Syafa’at dari Rosululloh, di dunianya tidak akan luput dari pada kesusahan, karena dibenci oleh Allah Ta’ala, atau tidak diridhoi oleh-Nya. Seumpama lampu yang ditutupi dengan kaca yang kotor, sudah tentu cahayanya juga gelap, karena kalau kita ingin dekat dengan yang Maha Suci, kitanya juga harus suci, harus saling mensucikan, suci isinya, suci kulitnya, baru dunianya tidak akan luput dari segala kenikmatan, di akherat juga begitu.
Oleh sebab itu kita harus waspada sekali, terutama bagi yang sudah mempunyai jalan kema’rifatan, tekad dan perbuatan buruk harus dijaga benar-benar,bukan hanya sekedar mengetahui saja, tetapi harus dibarengi dengan pengamalannya dan tekadnya harus baik, sebab kalau kita melakukan perbuatan maksiat, dan melanggar hukum syara’, tentu kita akan cepat di hukum oleh yang Maha kuasa, yang lebih berat hukumannya di bandingkan dengan yang belum Ma’rifat, seperti di dunia juga seumpama orang kampung mencuri ayam hukumannya hanya sekedar didenda atau dipenjara ( dikurung ) selama seminggu, tetapi seumpama seorang Camat mencuri ayam, tentu akan lebih berat lagi hukumannnya, selain dari pada dicopot jabatannya, ditambah dengan dihukum dua sampai tiga kali lipat, dari pada si orang kampung tadi hukumannya, dikarenakan sudah mengetahui kepada hukumnya, apalagi bagi yang sudah mengetahui kepada Allah Ta’ala, harus ingat kepada perjanjian Guru MURSID, ibadah bersama-sama, durhaka terpisah